Kado untuk Samuel
“Mengasihi artinya berbagi kebahagiaan dan berkorban
demi kebahagiaan orang yang kita kasihi”
“Aku menemukan sisi lain dari keindahan dunia ini
saat mengenalmu dan ketika aku kehilangan dirimu, engkau menjadi inspirasi
bagiku.”
Aku meneguk sisa es
teh tawar yang masih tersisa di gelasku. Ketika aku masih menikmatinya ekor
mataku menangkap sosok anak laki-laki yang memperhatikanku. Matanya menatapku.
Sebuah tatapan yang menusuk ke dalam hatiku. Tatapan yang penuh iba. Aku
meletakkan gelas yang hanya menyisakan es batu yang masih membeku.
“Bu,
anak kecil yang duduk di pinggir jalan itu siapa ya?” tanyaku penasaran kepada
pemilik warung sambil memandang anak laki-laki tersebut.
“Ow…
Duh, kasihan tuh anak, bang!”
“Kasihan
kenapa, bu?”
“Sudah
seminggu bapanya meninggal gara-gara sakit. Ibunya sih meninggal pas melahirkan
dia. Dia ngga punya keluarga lagi. Sekarang sih dia tidur di mana saja karena
di usir dari kontrakan.”
“Begitu
ya, bu!”
Selesai
membayar es teh tawar yang aku pesan. Aku menghampiri anak laki-laki yang hanya
mengenakan pakaian kumal tanpa alas kaki. Entah sudah berapa lama dia tidak
mengganti pakaiannya.
Semakin
aku mendekatinya semakin jelas kelihatan kalau tubuhnya tidak terurus. Dia
terus menatapku sampai aku duduk di sampingnya.
“Nama
kamu siapa dek?” tanyaku dengan nada bersahabat sambil mengukir sebuah
senyuman.
“Aku
lapar, kak!” ucapnya sambil memegang perutnya.
Aku
mencoba mengingat uang yang masih tersisa di saku dan dompetku. Hanya ada
selembar sepuluh ribuan dan dua koin lima ratus.
“Nanti
kakak belikan kamu makanan. Tapi nama kamu siapa?” Sekali lagi aku menanyakan
namanya.
“Benar
kak? Serius? Kakak ngga bohongkan?”
“Iya.
Ngapain bohong? Tapi nama kamu siapa?”
Aku
melihat senyuman manisnya yang memancarkan barisan giginya yang tersusun rapi
tapi berwarna kuning karena tidak pernah disikat.
“Namaku
Samuel Lie. Dipanggilnya Samuel. Kalau kakak?”
“Dewantara,
panggil saja kak Tara!”
Dia
mengulurkan tangannya lalu kusambut. Sebuah jabatan salam perkenalan yang
hangat. Terasa kalau tangannya penuh dengan debu ketika tanganku bersentuhan
dengan tangan munggilnya. Kukunya yang panjang menyembunyikan daki berwarna
hitam di setiap kuku jarinya.
“Yuk,
kita makan.”
“Di
mana kak?”
“Tuh
ada warteg!” ucapku sambil menunjuk sebuah warteg.
Dengan
langkah semangat Samuel memegang tanganku dan menuntunku ke warteg tersebut.
Wajah murungnya berubah menjadi ceria.
Aku
hanya memandangnya dengan mata yang hampir copot. Lahap sekali anak ini makan.
Kurang dari lima menit, makanan yang aku pesan sudah tidak tersisa lagi. Sampai
menjilat jarinya segala.
“Terima
kasih ya, kak!” ucapnya dengan malu-malu.
“Sama-sama,”
balasku terharu meski aku tahu jatah makan malamku sudah tidak ada lagi.
*****
Aku
manatap Samuel yang tidur terlelap yang hanya beralaskan koran dan tumpukan
baju di kosku yang hanya berukuran 2×1,5 meter. Masih terngiang pembicaraan
antara aku dengan Samuel sebelum dia terlelap.
“Aku
panggil kakak dengan sebutan Ko Dewa ya?”
Aku
menatapnya dengan keheranan di antara terang yang dipancarkan lilin kecil.
Anehkan? Kos yang aku tinggali hanya seratus ribu sebulan. Tanpa listrik dan tanpa
kamar mandi. Jadi kalau mau mandi harus ke WC umum. Itu pun harus bayar. Suara
kereta api yang lewat persis di depan kosku sudah menjadi musik tersendiri
bagiku. Kata orang ada harga, ada mutu. Seperti itulah gambaran kos di
pinggiran rel kereta api.
“Dulu
aku punya koko.”
“Trus
koko kamu di mana sekarang?”
Hening.
Sunyi. Bisu.
“Koko…
Koko meninggal karena sakit sama seperti papa. Namanya Ko Daniel.”
Kembali
kesunyian mencekam.
“Ngga
apa-apakan kalau aku manggil kakak dengan panggilan Ko Dewa?”
Aku
berusaha untuk tersenyum, “panggil saja Ko Tara, ya?”
“Oklah
kalau begitu.”
Aku
tertawa dengan tingkah lakunya yang masih polos.
Karena
lelah Samuel langsung tidur terlelap. Sementara aku berusaha menutup mataku
diantara suara perutku yang berbunyi karena kelaparan.
*****
“Koko
pengen punya toko sendiri,” celotehku ketika mengajaknya ke tempatku bekerja.
“Ngga perlu besar, yang penting milik sendiri.”
“Kenapa
ngga jadi koki saja?”
“Koki?”
“Iya.
Bisa makan sepuasnya. Kita makan ya ko?”
“Kamu
lapar?”
“Lapar
setengah mati.”
“Tapi
uang koko tinggal seribu rupiah. Cuma bisa beli gorengan.”
Samuel
hanya menatapku.
“Kamu
disini ya, koko beliin kamu gorengan dulu.”
“Iya
ko.”
Aku
berlari untuk membeli dua potong pisang goreng. Begitu kembali, mata Samuel
berbinar-binar ketika menerima dua potong pisang goreng.
“Ini
untuk aku dan ini untuk koko,” ucapnya sambil menyerahkan sepotong pisang
goreng.
“Untuk
kamu saja ya!”
“Ngga
mau! Koko kan belum makan apa-apa dari semalam?”
Dengan
berat hati aku memakannya juga.
Setelah
itu aku langsung melakukan tugasku ketika tiba di toko. Membuka toko, lalu
membersihkannya, melayani pembeli dan kemudian menutupnya. Gajinya sih cukup
untuk bayar kos, makan, kebutuhan sehari-hari dan biaya transportasi. Tapi
beruntung Ko Willy, si empunya toko berbaik hati mengizinkan aku memakai
komputernya untuk jualan online. Aku menjual tas yang ada di toko Ko Willy di
blogku yang kuberi
MotivatorSuper.com . Keuntungannya memang sedikit. Tapi aku percaya,
setia dalam hal yang kecil maka Tuhan akan mempercayakan hal yang lebih besar
lagi.
“Nanti
kalau ada yang beli tas sama koko, nanti koko traktir kamu di KFC.”
“Wow!
Samuel doain semoga laku. AMIN”
Aku
hanya tersenyum. Apa lagi melihat tubuhnya sudah bersih. Meski baju yang
dikenakannya kebesaran.
Aku
belum bisa membelikan Samuel baju sehinga mau ngga mau dia harus memakai
pakaianku.
*****
“Kamu
sikat gigi pakai garam ya?”
Samuel
menatapku dengan kebingungan.
“Odolnya
habis. Koko belum bisa beli.”
“Ow.”
“Begini
caranya…” ucapku lalu mengambil garam dengan telunjuk tanganku dan
menggosokkannya ke gigiku.
“Asin
ko!”
Aku
tersenyum meski hatiku perih.
“Yah
iyalah masa manis.”
*****
“Badanmu
panas,” keluhku bingung ketika tanpa sengaja menyentuh tubuhnya. “Kamu sakit
ya?”
Tidak
ada jawaban yang keluar dari mulut munggil Samuel yang merah. Dahinya berkerut
dan bibirnya mendesah menahan sakit.
Sementara
di luar kos, gerimis mulai turun.
Tubuh
Samuel kedinginan. Tidak ada jaket atau selimut. Aku berusaha menghangatkan tubuhnya
dengan menempelkan beberapa baju ke seluruh tubuhnya.
“Kita
ke dokter ya?” usulku, meski aku sendiri tidak yakin mendapat pertolongan tanpa
uang yang cukup. Orang miskin dilarang sakit! Kalau berobat harus pinjam
sana-sini buat biaya berobat. Setelah sembuh kerja keras lagi buat bayar
hutang.
Aku
semakin bingung ketika Samuel tidak menjawab. Dia hanya mengerang dengan mata
tertutup rapat.
Aku
menggendong tubuh Samuel dan membawanya ke rumah sakit terdekat. Entah kenapa
aku takut kehilangan Samuel. Meski baru dua minggu mengenalnya. Rasanya seperti
terjalin ikatan batin yang kuat diantara kami.
Sehari
tanpa ocehan Samuel rasanya ada yang aneh. Pertanyaan-pertanyaan sering
terlontar dari mulutnya hingga kadang aku kewalahan menjawabnya.
“Woi,
mau ke mana loe?” sergah satpam rumah sakit ketika melihatku. “Enak saja main
masuk!”
“Adik
saya sakit, pak?”
Satpam
tersebut memandangku dan Samuel berkali-kali. Mungkin dia bingung, aku yang
pribumi memiliki adik yang keturunan Tionghoa.
“Bawa
saja ke rumah sakit lain. Di sini bayarnya mahal. Ngga terima pasien kayak
begini!”
Ya
Tuhan? Apa rumah sakit ini hanya menerima pasien yang menaiki mobil mewah yang
bisa di rawat di sini? Sementara orang miskin sepertiku tidak diterima?
Ketika
satpam tersebut mengarahkan mobil mewah untuk mendapatkan parkir aku langsung
menerobos masuk. Aku tetap nekat untuk masuk. Apa pun akan aku lakukan untuk
Samuel. Satpam tersebut hanya pasrah dengan sikapku. Aku tidak menghiraukan
tatapan orang yang melihatku basah kuyup tanpa alas kaki. Sandal yang kupakai
tadi putus. Mungkin sudah waktunya untuk diganti.
Aku
tidak menghiraukan tatapan orang yang memandangku. Dinginnya AC menusuk hingga
tulang sum-sumku.
*****
Empat
hari kemudian.
“Hemofilia?”
tanyaku kaget.
“Penyakit
gangguan pembekuan darah dan diturunkan oleh kromosom X,” ucap dokter muda yang
cantik perawakannya memberiku penjelasan.
Aku
menggagumi kecantikannya.
“Tapi
selama ini tidak ada keanehan yang saya temui, seperti pendarahan yang terus
menerus atau terjadi benturan pada tubuhnya yang mengakibatkan kebiru-biruan.
Kalau boleh tahu, Samuel mengidap hemofilia A atau Hemofilia B, dok?”
“Begitu
ya? Hemofilia B.”
Aku
terdiam.
“Tidak
hanya itu, hasil pemeriksaan menyatakan kalau dia juga positif HIV.”
Aku
berdiri seperti patung. Samuel yang masih berumur enam tahun mengidap HIV? Ayah
atau ibunyakah yang menularkan? Atau karena dia pernah menjalani transfusi
darah dan ternyata Human Immunodeficiency Virus lolos dalam transfusi darah
yang dijalanninya.
Kini
aku tahu, kenapa tidak ada satu pun keluarganya yang mau menampungnya yang
sebatang kara. Mungkin ayahnya meninggal karena HIV juga. Entahlah.
Aku
menatap wajah pucat Samuel yang terbaring lemah dengan infus yang terpasang
ditubuhnya. Selama Samuel di rawat tidak ada satu pun kata keluh kesah yang
keluar dari mulutnya.
Masih
jelas tergambar di memoriku pembicaraan kami berdua ketika mengajaknya makan di
KFC di salah satu mal di bilangan Jakarta Barat.
“Samuel
pengen kado natal!” Ungkap Samuel tiba-tiba begitu melihat nuansa natal yang
menghiasi setiap penjuru mal.
“Mau
kado apa?”
“Cuma
pengen boneka Tazmania.”
“Nanti
koko belikan kalau koko sudah punya duit. Beberapa hari ini belum ada tas yang
laku. Nanti koko belikan boneka Tazmania yang gede.”
“Yang
kecil juga ngga apa-apa kok.”
“Tapi
jangan lupa berdoa ya.”
“So,
pasti!”
Malamnya
sebelum beranjak tidur, kembali dia mengutarakan keinginannya.
“Koko
pasti belikan buat kamu. Berharap sebelum natal banyak tas yang laku.”
“Amin!”
teriaknya memecah kesunyian malam.
Hatiku
miris, seharian aku dan Samuel hanya minum air kran. Tidak ada duit yang
tersisa.
“Maafkan
koko, Samuel,” bisikku dalam hati sambil mengusap kepalanya.
Menit
berikutnya.
Dia
mengajakku berdoa. Biasanya aku yang mengajaknya.
“Tuhan…
Berkati Ko Tara ya. Berkati pekerjaannya dan usaha on…”
“Online.”
timpalku yang mengetahuinya kesulitan menyebut kata tersebut.
“Usaha
onlinenya. Berkati juga bloknya.”
Aku
tersenyum ketika dia menyebut kata blog dengan pemakaian huruf K dibelakangnya.
“Nama
blognya apa ko?”
“MotivatorSuper.com,”
ucapku dengan perlahan-lahan.”
“Berkati MotivatorSuper dot
kom ya Tuhan. Biar banyak orang yang diberkati.”
Aku
terharu. Aku meneteskan air mataku.
*****
“Ko,
aku mau pulang saja!”
“Kenapa
sayang? Di sinikan enak? Ngga kayak di kos koko.”
“Tapi
aku kasihan koko harus berhutang untuk bayar semuanya.”
Diam.
Sesak.
“Kamu
jangan pikirkan itu ya, sayang. Tuhan pasti cukupkan semuanya.”
Tidak
ada pilihan selain meminjam uang dengan Ko Willy dengan jaminan gajiku di
potong setengah dari seharusnya aku terima setiap bulan.
Sebatang
kara seperti ini tidak bisa berharap pertolongan kepada keluarga. Ah, betapa indahnya
kalau masih memiliki keluarga. Teman? Ini Jakarta. Uang ngga jatuh dari pohon
kayak daun kering. Siapa yang mau memberikan pinjaman kepadaku tanpa jaminan
apa-apa yang bisa disita kalau tidak mampu melunasi hutang yang ada? Memberikan
pinjaman ke keluarga sendiri saja masih pakai hitung-hitungan. Kalau mau
nyumbang harus di ekspos. Berharap kepada manusia memang sering mengecewakan.
“Kamu
harus di rawat di sini supaya cepat sembuh.”
“Ko….
Maafkan aku.”
“Kenapa
harus minta maaf?”
“Aku
sudah merepotkan koko.”
Aku
menggenggam tangannya. “Kamu tidak merepotkan kok. Percayalah! Koko malah
senang bisa berkorban buat kamu.”
******
Segala
macam usaha telah di coba oleh tim dokter yang menangani Samuel. Sudah dua
minggu terakhir ini berbagai obat pun silih berganti dimasukkan ke dalam
tubuhnya.
Setiap
hari berjam-jam aku menemaninya setelah pulang dari jaga toko. Mengobrol,
bergurau atau kadang-kadang berdongeng untuknya.
“Ko,
apa artinya meninggal dunia?”
Pertanyaan
yang menghentakkan diriku yang lelah dan lapar. HIV sudah memorak-porandakan
seluruh sistem pertahanan tubuh Samuel. Infeksi yang tidak terlalu berat pun
dapat menimbulkan penyakit yang fatal.
“Artinya,
kamu akan ke suatu tempat yang jauh. Tempat di mana kamu berasal.”
“Perginya
sendirian?” tanyanya lemah.
Mataku
berkaca-kaca. Namun aku mencoba untuk menahan agar air mata itu tidak jatuh.
“Sendirian.
Tapi kamu jangan takut.”
“Kalau
aku meninggal dunia, siapa yang akan menemani koko?”
Akhirnya
air mataku juga jatuh. Diantara penderitaannya dia masih memikirkanku.
“Aku
tahu, koko sering ngga makan biar aku kenyang. Koko sering jalan kaki pulang
pergi ke toko biar bisa belikan aku sesuatu setiap hari. Nanti di sana, siapa
yang motongin kuku Samuel?” ucapnya sambil meneteskan air matanya.
Aku
memeluknya.
“Kamu
ngga usah mikirin koko ya, sayang! Tuhan pasti menjaga koko.”
“Nanti
kalau aku sudah besar dan punya uang yang banyak. Aku mau belikan koko sebuah
toko. Biar koko ngga usah kerja lagi. Trus belikan koko rumah dan mobil, biar
kalau hujan bisa tetap tidur enak dan tidak perlu lagi jalan kaki.”
Mulutku
tertutup rapat. Bungkam. Tak ada kata yang bisa melewati kerongkonganku. Di
tengah rasa sakitnya, dia masih menyimpan sebuah impian. Bukan keluh kesah
karena sakit yang di deranya.
******
Aku
membawa sebuah boneka Tazmania kecil untuk Samuel. Samuel yang terbaring lemah
memaksakan senyumannya.
“Ko…”
“Kenapa
sayang?”
“Besok
aku tidak bisa ikut koko natalan di gereja.”
“Ngga
apa-apa.”
“Kamu
suka ngga bonekanya?”
“Terima…
kasih… ya, ko! Bonekanya bagus banget.”
“Maafkan
koko ya. Koko ngga bisa belikan kamu boneka yang gede.”
“Ko,
aku mau… kasih koko… kado.”
Aku
tercengang!
“Aku
cuma… bisa kasih lagu buat koko…”
Aku
mendekatkan kupingku di wajah Samuel. Suaranya semakin pelan.
“Ku yakin saat Kau berfirman
Ku
menang saat Kau bertindak
Hidupku
hanya ditentukan oleh perkataanMu
Ku aman
karna Kau menjaga
Ku kuat karna Kau menopang
Hidupku hanya ditentukan oleh kuasaMu
Ku kuat karna Kau menopang
Hidupku hanya ditentukan oleh kuasaMu
Bagi
Tuhan tak ada yang mustahil
Bagi Tuhan tak ada yang tak mungkin
MujizatNya disediakan bagiku
Ku diangkat dan dipulihkanNya”
Bagi Tuhan tak ada yang tak mungkin
MujizatNya disediakan bagiku
Ku diangkat dan dipulihkanNya”
Air
mataku terus jatuh ketika dengan susah payah dia menyelesaikan lagu tersebut.
Meski sudah tidak ada lagi harapan Samuel tetap percaya mujizat itu ada.
“Selamat
natal ya ko,” ucapnya dengan sangat pelan.
“Selamat
natal juga sayang.”
“Ko…”
“Iya,
sayang!”
“Koko
bisa nyanyikan aku sebuah lagu…”
Tanpa
berpikir panjang aku memenuhi permintaan Samuel. Lagu kegemarannya…
Dalam
segala perkara
Tuhan punya rencana
Yang lebih besar dari
Semua yang terpikirkan
Tuhan punya rencana
Yang lebih besar dari
Semua yang terpikirkan
Apapun
yang Kau perbuat
Tak ada maksud jahat
Sebab itu kulakukan
Semua dengan-Mu Tuhan
Tak ada maksud jahat
Sebab itu kulakukan
Semua dengan-Mu Tuhan
Reff:
Ku tak
akan menyerah pada apapun juga
Sebelum ku coba, semua yang ku bisa
Tetapi kuberserah kepada kehendak-Mu
Hatiku percaya Tuhan punya rencana
Sebelum ku coba, semua yang ku bisa
Tetapi kuberserah kepada kehendak-Mu
Hatiku percaya Tuhan punya rencana
Tangan
kanan Samuel mendekap boneka Tazmanianya sementara tangan kirinya menggengam
tanganku.
Genggamannya
makin lama makin lembut hingga tak ada lagi nadinya yang berdetak.
“Surga
menantimu, pahlawan kecilku,” bisikku dikupingnya yang dingin.
*****
TAMAT
0 komentar:
Posting Komentar