KAWAN ATAU LAWAN
Di dalam situasi chaos atau kacau, orang sering mengalami
kesulitan membedakan mana lawan, mana kawan. Kawan bisa berubah menjadi lawan
karena beda ideologi atau beda golongan. Dalam kerusuhan berlatar belakang
SARA, bahkan teman akrab pun bisa berubah menjadi lawan karena beda keyakinan,
beda musuh, atau beda ras. Seorang teman bisa menjadi lawan, bahkan kalau perlu
harus dimusnahkan. Jangan sampai musuh bisa bangkit lalu berbalik melawan.
Di dalam berbagai
peristiwa huru hara politik juga kerap terjadi seseorang dijebloskan ke dalam
penjara karena ulah teman sendiri. Bahkan ada yang dengan tega mencabut nyawa
teman sendiri demi sebuah “perjuangan”. Jangankan teman, keluarga sendiri pun
tega “dimakan” karena beda ideologi.
Tetapi di dalam situasi
normal pun, terkadang orang sulit membedakan mana kawan, mana lawan. Ambillah
contoh situasi di kantor atau perusahaan. Diantara sekian banyak teman, pasti
ada yang menjadi “musuh dalam selimut”. Suka melapor kepada pemimpin agar
dirinya nanti dipercaya menduduki jabatan tertentu. Laporan selalu dibuat ABS (Asal Bos Senang).
Oleh karena itu, jika
pimpinan kantor atau perusahaan tidak bijaksana , maka suasana kerja seperti
“medan tempur”. Siapa tidak waspada akan celaka. Jika hari ini aku yang jatuh,
lihat nanti, mungkin kamu yang akan kujatuhkan. Siapa rajin menjilat atasan pasti
selamat. Pokoknya loe… loe… gue… gue…
kata orang Betawi. Elo jual, gue beli.
Elo nantang, gue sabet ame pedang!
Repot kalau manajemen
konflik diberlakukan dalam suasana kerja sehari-hari. Semua serba tidak nyaman.
Tidak ada rasa aman dan damai. Sulit untuk bisa menikmati hidup yang damai dan
sejahtera.
Lalu bagaimana baiknya?
Baca dan renungkan ini :
“ … barangsiapa tidak melawan kamu, ia ada di pihak kamu”, sabda Sang Guru
(Lukas 9 : 50).
Nasihat yang ringan,
bijak, dan mudah dilaksanakan bukan? Tidak berbelit-belit. Anak usia SD pun
bisa mengerti maksud dari sabda tersebut, apalagi kita yang lebih dewasa. Untuk
mendeteksi siapa lawan siapa kawan, Sang Guru memberi solusi yang sangat mudah
caranya. Tidak perlu membayar detektif swasta. Tidak perlu bertanya kepada
‘orang pintar” atau dukun, siapa yang mengancam kita. Bisa-bisa uang kita habis
digunakan untuk membayar “mahar”. Memang pintar dukun atau paranormal sekarang,
ngakunya memberi pelayanan gratis, tapi ternyata pasien diminta bayar “mahar”
sampai jutaan rupiah!
Bagaimana jika seseorang
sikapnya lain di depan lain di belakang?
Biarkan saja. Seorang
pengecut, meski dikerangkeng sekalipun, tetap pengecut. Meski diberi susu dan
madu, tetap saja pengecut. Orang seperti itu, tidak perlu dinasihati. Pada
akhirnya nanti, ia akan sadar dengan sendirinya. Ia akan sadar (biasanya),
setelah hidupnya babak belur.
Carilah seribu kawan dan
cukupkan satu lawan! Syukur-syukur jika ia tidak memiliki satu lawan pun! Hidup
akan lebih indah. Dimanapun berada, kita bisa bertemu kawan, dan anggap saja
mereka itu saudara sendiri!
Enak bukan?
0 komentar:
Posting Komentar